Kamis, 10 Oktober 2013

30 september 2013

Seperti malam-malam biasanya.
Di ruangan 3x3, bercengkerama dalam keheningan bersama secangkir kopi dan semut-semut yang datang untuk menemani.
Harusnya ada kamu di sini.
Jangan biarkan aku mengingatnya sendiri.
Jangan biarkan aku menikmatinya sendiri.
Baiklah, tak apa.
Semesta sedang meletakkan kita di tempat yang berbeda.
Namun, aku yakin pikiran kita tetap sama.
Kerinduan yang tercecer ratusan kilometer di luar sana.
Kuucapkan terimakasih pada semesta yang telah menyeretmu ke ruangan ini, setahun yang lalu.

Sabtu, 23 Februari 2013

Setiap Tempat Punya Cerita [Maria Anita Rusanti]


Judul : Home Sweet Home
Lokasi Foto : Rumahku (Bantul Yogyakarta)

"Segala sesuatu terasa lebih berharga jika sudah tak lagi memilikinya."

Foto di atas diambil menggunakan kamera lomoku pada siang hari, tidak menggunakan flash dan sengaja mengambil angle dari dalam rumah. 

Rumah, sebuah bangunan yang mungkin sering terlupa keistimewaannya. Sebatas dijadikan tempat tujuan pulang dan tempat singgah di waktu malam. Sedikit yang mampu mengabadikan memori yang tersimpan. mungkin karena belum merasakan kehilangan.


Segala sesuatu terasa lebih berharga jika sudah tak lagi memilikinya. Mungkin dulu aku tak begitu menghiraukan tempat itu. Sebatas bangunan sebagai identitas di mana aku tinggal. Sebatas tempat permulaanku  menuju tempat-tempat lainnya. Dan sebatas tempat tujuan akhir di mana aku pulang. Sebatas sebuah bangunan yang beralamatkan sebagai identitas jika kerabat datang. Sebatas bangunan yang beralamatkan sebagai identitas jika pak pos atau kurir datang membawa kiriman. Kondisinya sama sekali tidak membanggakan, biasa saja, sederhana saja. Tidak ada garasi di depannya, tidak ada elektronik mahal di dalamnya, tidak ada tanda-tanda bahwa pemiliknya adalah orang berada. 

Suatu malam aku sengaja melewati jalan itu, jalan menuju rumahku (dulu). Tidak untuk pulang ke situ tentunya, hanya melewatinya saja, setelah sekian lama. Seolah tubuh ini hanya sebatas luarannya saja dengan kepala yang tak berisi apa-apa. Sel-sel tubuhku mati, mematung, dan rasanya ada yang memberontak di dalam dada. Bibir tak lagi dapat berkata apa-apa. Tidak ada yang bisa kulakukan selain memandangi apa yang bukan lagi menjadi milikku. Mendambakan apa yang bukan lagi menjadi milikku. Menginginkan apa yang bukan lagi menjadi milikku. Ketika aku tidak mampu untuk memilikinya lagi, tempat itu menjadi seribu kali lipat lebih berharga dibanding apapun. 

Aku masih merasakan bau dan suasana yang sama di halaman rumah, bau dedaunan basah. Bagaimana dengan kondisi di dalamnya? Ingatanku tak luput untuk mengingat setiap petak bilik dan sudut rumahku. Ingatanku juga tak luput mengingat memori di dalamnya. Aku lahir di situ, aku tumbuh besar dan berkembang di tempat itu. Tempat yang selalu menjadi tujuanku mencari Ibu jika bosan main di luar rumah. Tempat di mana ayahku berteriak dari dalam rumah, memanggil dan menyuruh aku dan adik-adikku masuk ke rumah karena hari mendung. Tempat di mana kami menghabiskan waktu dengan mengobrol dan menonton televisi saat musim liburan karena kami tak punya dana berlebih untuk liburan. Bahkan peristiwa terakhir kalinya kami berada di tempat itu lalu kami harus meninggalkan tempat itu karena segala pelik permasalahan yang ada. Setiap piksel memori itu masih sangat jelas di pikiranku. Namun, apa yang bisa kulakukan jika aku tak lagi bisa membawa serta memori itu pulang bersamaku ke tempat baru. 



Rabu, 30 Januari 2013

demotivasi mariyem

kadang keadaan selalu berkebalikan dengan apa yang diinginkan. namun apa yang dirasa, jika tak satu pun yang diinginkan itu terjadi di kenyataan. tak satu pun. masih harus pasang tampang bahagia seolah tidak ada apa-apa? masih harus pura-pura tersenyum sabar di depan semua orang? masih harus melulu berkata pada diri sendiri bahwa semua akan indah pada waktunya? masih harus menghibur diri bahwa semua akan ada jalan keluarnya? masih? harus? tidak adakah alasan yang lebih realistis yang bisa aku dengar selain kata-kata tersebut. 
"sepahit-pahitnya kopi pasti ada setitik rasa manis yang akan kamu rasakan, namun kadang orang yang meminumnya tak sadar akan rasa manis itu. mereka terlanjur fokus pada rasa yang mendominasi." seorang lelaki 25 tahun itu berkata kepada mariyem. 
aku masih ingat betul bau lelaki itu. baunya masih tertinggal di tempat tidur. aku masih ingat betul bagaimana rasa ketika mengusap jenggotnya yang tebal. aku masih ingat betul ketika dia mengusap air mataku di siang itu. tak banyak bicara, dia memelukku, membelai rambutku, berusaha menghilangkan segala gelisah yang menusuk-nusuk kepalaku. meringankan beban di pundakku. dan aku masih ingat betul bagaimana perasaanku sejak saat itu bahwa aku tak akan pernah ingin jauh dari lelaki itu. tak akan pernah.
"hubungan cinta laki-laki dan perempuan itu kuncinya hanya pintar-pintarnya menata hati." seorang gadis 20 tahun itu berkata kepada mariyem.
sampai sekarang perasaanku masih sama. aku tak pernah ingin jauh dari laki-laki itu. inilah kewajiban moral yang harus ditanggung oleh sepasang kekasih yang sudah sepakat mengikatkan diri. apapun situasinya, dimanapun mereka berada, bersama siapapun. tidak ada alasan normatif yang mengharuskan seorang laki-laki tidak boleh melakukan makan malam bersama teman perempuannya, padahal kekasihnya sedang tidak ada di dekatnya dan dipastikan kekasihnya tidak akan melihat apa yang dia lakukan. tidak ada alasan normatif yang mengatur hal itu. ini hanya masalah kewajiban moral. dan ketika aku berada jauh dari lelaki itu, aku ragu apakah dia masih bisa mengemban kewajibannya, aku ragu apakah aku masih bisa mengemban kewajibanku. pikiran-pikiran negatif yang dikalkulasikan mungkin bisa memecahkan kepalaku karena terus menerus dipikirkan, karena sejujurnya takut merasa sakit dan kehilangan. pemikiran-pemikiran konyol yang membuatku terlihat tolol. pintar-pintarnya saja menata hati. 
"pelajaran yang paling sulit dilalui manusia itu adalah pelajaran bagaimana menempatkan diri. tidak semua orang bisa menempatkan diri sesuai posisinya, dan tidak semua orang bisa memahami orang yang ditempatkan di sisinya." seorang pria 30 tahunan berkata kepada mariyem.
aku sudah sangat muak dengan pencitraan. aku lebih memilih dinilai sebagai sampah daripada harus berpura-pura terlihat istimewa. apalagi hanya demi sebuah penilaian fiksi. mereka menilaiku buruk. biar saja. bagiku mereka tak pintar menilai orang. tak ada alasan obyektif yang membuatku harus merasa kalah. makin sering saja mereka berkomentar tentang kelebihanku yang kurang. biar saja. mereka hanya terlalu peduli. nanti juga sadar sendiri.